Cerpen : Should I Leave You Behind?

SHOULD I LEAVE YOU BEHIND?
Karya : M. H. Santoso

            Malam itu begitu dingin. Tubuhku tak bisa merasakan apa-apa selain genggaman tangan wanita itu. Sangat erat sehingga aku tak bisa melepaskannya. Aku pun tak ingin berusaha untuk melepaskan genggamannya. Aku terus memandanginya tanpa sedetik pun berpaling padanya. Aku berusaha sekuat tenaga untuk tetap tersenyum tegar dihadapannya.
            “Tenang, Bu Endah. Sebentar lagi kita sampai,” ujar Pak RT  yang sedang menyetir mobil di depan.
            “Iya, Bu, sebentar lagi kita sampai,” aku berusaha menghiburnya juga.
            Ibuku tak berkata apa pun selain menahan rasa sakit. Dia tetap menggenggam tanganku. Kami sampai di depan pintu UGD. Beberapa suster datang menjemput sambil membawakan kereta dorong. Kami segera menuju ruang persalinan. Sayangnya, dokter melarang aku dan Pak RT untuk masuk ke dalam.
Aku hanya bisa mendengar jeritan Ibu yang merintih. Berkali-kali Pak RT mengelus-elus  kepalaku untuk menenangkannku. Aku hanya bisa membalasnya dengan senyuman. Itu pun karena aku tidak tahu harus berbuat apa.
            “Tenang yah, Nak. Ibumu pasti baik-baik saja,” itu yang dia ucapkan berkali-kali, hingga aku bisa menghafal intonasi kalimatnya.
            Aku tak tahu apakah aku sudah menunggu lama disini. Aku melihat Pak RT sangat gelisah. Mungkin jiwa kebapakannya muncul, walau itu bukanlah anak kandungnya.
            Aku memang masih seorang remaja, namun aku cukup dewasa untuk mengetahui apa yang sedang terjadi. Ibuku tengah mempertaruhkan nyawanya di dalam sana. Mencoba melawan rasa sakit yang aku sendiri tidak bisa membayangkannya.
            “Bagaimana, Dok?” ujar Pak RT sambil menghampiri dokter.
            “Alhamdulillah, Ibu beserta bayinya selamat. Mari silahkan masuk,” ujar Dokter sambil menuntun Pak RT yang menggandeng tanganku.
            Aku masuk ke dalam ruang persalinan. Dengan wajah yang sangat pucat dan tak berdaya, Ibu masih bertahan untuk menggendong adik baruku. Dia menatapku bahagia.
            “Pak RT, mana Bapak dari bayi ini? Bayinya harus segera dilantuni adzan.”
            Seketika itu air mata Pak RT mengalir. Aku tidak mengerti mengapa dia begitu merasakan suasana yang terjadi di keluargaku. Aku semakin bingung ketika menyadari bahwa air mata Ibu mengalir lebih deras.
            “Ah, benar, Ayah kan sudah tiada lagi disini,” ujarku pelan dalam hati.
            Aku baru tersadar bahwa Ayah meninggal ketika Ibu masih mengandung tiga bulan. Ketika itu aku sedang berada di pondok pesantren dan aku diizinkan untuk pulang.
            Beberapa hari setelah pemakaman Ayah, aku tetap tinggal di rumah untuk menemani Ibu. Aku merasa dia butuh seseorang untuk menemaninya. Entah berguna atau tidak, aku ingin tetap di sampingnya.
            “Nak, ayo, adiknya di-adzani,” Pak RT mencoba mengucapkannya dengan tersenyum.
            “Aku?” aku tak menduga bahwa aku yang akan menggantikan posisi Ayah sekarang ini.
            “Ayo, nanti adik keburu nangis lagi,” Ibu juga tersenyum padaku.
            Aku maju mendekati adikku. Entah mengapa kakiku terasa sangat berat. Sekarang ini aku melakukan hal yang harusnya dilakukan oleh seorang ayah. Lebih tepatnya aku sedang menjadi seorang ayah bagi adik kecilku ini.
            Aku menarik napas dalam-dalam sebelum melantunkan adzan di telinga adikku. Semua terasa hening ketika aku bersuara. Mungkin hanya diriku yang merasakannya, karena semua orang sedang menatapku dan adikku.
            “Ibu,” aku mengangkat kepalaku dan memandang Ibu yang menangis lagi.
            “Iya, Nak, Ibu nggak apa-apa.”
            “Maaf, Bu.”
            “Mengapa kamu minta maaf?”
            “Aku merasa kasihan kepada adik. Dia harus mendengarkan adzan yang buruk dariku.”
            “Nak, seburuk-buruknya adzan, kalimat itu tetaplah sempurna. Allah kan Maha Suci,” Ibu tersenyum sambil mengusap pipiku.
            “Ibu, aku ingin memberi nama pada adik baruku.”
            “Baiklah, Nak. Ibu tahu kamu bisa memberikan yang terbaik.”
            Sebulan sudah aku di rumah menemani Ibu merawat adikku. Sore itu, aku sedang mencuci piring ketika Ibu memanggilku. Aku segera membersihkan tanganku dan menghampirinya di kamar. Dia sedang mengganti baju adikku yang baru saja dimandikan.
            “Nak, kapan kamu balik ke asrama?” tanya Ibu setelah aku duduk di sampingnya.
            “Tidak, Bu. Aku akan tinggal di rumah untuk membantu Ibu.”
            “Tidak perlu, Nak. Kamu harus tetap kembali untuk melanjutkan pelajaranmu. Bukankah dulu kamu yang ingin belajar disana?”
            “Tapi, Bu…”
            “Sudahlah, kamu kembali saja. Kelak ketika kamu sudah belajar banyak hal, kamu bisa membimbing adikmu agar kalian bisa seperti ayah kalian.”
            “Lalu bagaimana dengan Ibu?”
            “Ibu? Sepertinya Ibu akan tinggal dengan Bibi.”
            “Jadi Ibu akan keluar kota?”
            “Iya, kemarin bibimu menyuruh Ibu untuk tinggal disana. Dengan begitu, ada orang lain yang membantu Ibu merawat adikmu.”
            Aku menundukkan kepala. Berpikir keras apakah aku sanggup meninggalkan Ibu disini. Aku mulai menangis. Seharusnya Ayah disini menemani Ibu dan Adik. Sejak Ayah meninggal, Ibu harus merasakan kesakitan mengandung Adik sendirian. Kini Ibu harus merawat Adik sendirian. Adikku pun juga akan tumbuh tanpa mendengar suara Ayah sekali pun. Sangat berbeda denganku.
            “Mengapa kamu menangis?” Ibu mengusap air mata di pipiku.
            “Aku teringat Ayah, Bu. Seharusnya Ayah bisa melihat betapa cantiknya Adik. Aku kasihan kepada Ayah.”
            “Sudahlah, Nak. Ayahmu pasti tahu adikmu karena dia tahu siapa dirimu.”
            “Ibu,” aku mengangkat kepalaku, memandangnya.
            “Adikmu sangat mirip denganmu,” dia me-mandang wajah Adik.
            Malam itu kami berdua menangis karena merindukan Ayah. Sesekali Ibu bercerita betapa bangganya Ayah ketika aku pergi berangkat ke pondok pesantren. Kata-kata itu membuatku semakin harus kembali ke asrama. Tiga hari setelah percakapan itu, aku berpamitan kepada Ibu.
            “Ini uang untuk transportasi. Jangan sampai hilang.”
            “Baik, Bu. Ibu, aku berangkat,” aku mencium tangannya yang hangat.
            Dia mencium keningku sebelum aku apergi. Aku mulai berpaling dan melangkah meninggalkannya. Sekilas aku mendengar isak tangis yang dia tahan. Namun, aku tak akan menoleh kepadanya. Karena bila aku menoleh, aku takut akan goyah untuk kembali ke asrama.
            Aku memang tak seharusnya meninggalkan Ibu. Tapi, aku ingin Ibu dan adikku bahagia di masa depan. Untuk itulah aku berangkat untuk mencari ridho-Nya, agar do’a-do’aku bisa lebih jelas terdengar oleh-Nya.

Comments

Popular posts from this blog

Presentasi Narrative Text dan latihan soal (PPT version)

Puisi : Mampukah

Presentasi Sistem Ekskresi Makhluk Hidup PPT / PDF